(photo doc Fb, Raymond Lokbere) Bertempat di asrama putri papua Jl, Dr Goris, Gang Teknik. Immapa bali kembali mengelar disku...
(photo doc Fb, Raymond Lokbere)
Bertempat di
asrama putri papua Jl, Dr Goris, Gang Teknik. Immapa bali kembali mengelar
diskusi publik sebagai bentuk peringatan hari perempuan internasional.
Dengan tema “Penindasan
Terhadap Perempuan” diskusi publik ini di laksanakan dari jam 15:00 Wita, pokok dari pembahasan hari ini yaitu tentang sejarah
IWD (Internasional Women Day) dan Mengkontekskannya ke perempuan Papua dulu
dan sekarang.
Adapula dua
kawan Jeeno dan Orin sebagai pemateri yang membimbing diskusi bersama pada sore
hari ini, Rabu 14 maret 2018.
Bahwa
peristiwa Yang paling terkenal dan dipercaya sebagai awal dari perjuangan kaum
wanita adalah peristiwa di pabrik garmen bernama Triangle Shirtwaist Factory di Amerika pada tahun
1911.
Pada masa
itu kondisi kerja dan fasilitas yang diterima para buruh wanita di Amerika
sangat jauh dari layak. Hingga pada akhirnya sebuah kebakaran hebat terjadi
pada bulan Maret tahun 1911 dan menewaskan 140 orang pekerja perempuan.
Peristiwa tersebut disebut-sebut sebagai bencana industri paling mematikan
dalam sejarah kota New York.
Nah
peristiwa kurang menyenangkan tersebut memicu aksi damai yang dilaksanakan
bertahun-tahun kemudian di New York City, Amerika Serikat. Aksi tersebut
dimotori oleh buruh-buruh perempuan dari pabrik pakaian dan tekstil dan dilaksanakan
tepat pada tanggal 8 Maret 1957.
Diskusi ini
dihadiri oleh kurang lebih 20an orang dari berbagai organisasi. Selain immapa
dan Amp, adapula solidaritas dari kawan-kawan seperti pers mahasiswa Fisip
(Unud), Fmn cabang Denpasar, Ipa (salah satu organisasi etnis asal Ntt yang
bergerak di bidang kemanusiaan dan individu-individu lainnya.
Seperti yang
di katakan oleh dua kawan pembicara Jeeno dan Orin bahwa pembahasan kita akan
berfokus ke penindasan perempuan papua yang terjadi sejak perang dunia ke dua
sampai hari ini.
Pada masa
Perang Dunia II, tanah Papua menjadi medan pertempuran antara pasukan Jepang
dan Sekutu. Rakyat, khususnya perempuan West Papua, menjadi korban. Sampai
Perang Dunia II berakhir, Papua masih berada di bawah kuasa Belanda (yang
menjanjikan dekolonialisasi), setidaknya hingga Indonesia melakukan upaya-upaya
“pembebasan” tanah Papua.
Pada tanggal
19 Desember 1961, Presiden Soekarno mengumandangkan Trikora dengan tujuan
“membebaskan” Papua dari cengkeraman Belanda. Trikora kemudian mengejawantah
menjadi serangkaian operasi militer. Rakyat, khususnya perempuan West Papua,
menjadi korban. Sejak dikumandangkannya Trikora hingga saat ini, ada setidaknya
30 (tiga puluh) operasi militer yang terjadi di tanah Papua. Sebanyak, selama,
seperih, sesakit, itulah yang harus dihadapi rakyat, khususnya perempuan West
Papua dalam menanggung hidup.
Catatan dari
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Pokja
perempuan Majelis Rakyat Papua dan International Center for Transitional
Justice (ICTJ) Indonesia telah mendokumentasikan fakta kekerasan terhadap
perempuan West Papua sepanjang tahun 1963 sampai 2009. Dari dokumen tersebut
tercatat ada 138 kasus kekerasan negara dan 98 kasus kekerasan dalam rumah
tangga. Kekerasan negara berarti tiap bentuk kekerasan terhadap perempuan, baik
itu fisik, seksual dan psikologis, yang dilakukan atau didukung oleh aparat
keamanan dan aparat pemerintahan. Penelitian terbaru dari Papuan Women’s Group
(PWG) mencatat ada 60 perempuan dari 170 yang terlibat dalam penelitian pernah
mengalami kekerasan, dan 48 di antaranya adalah korban kekerasan negara atau
pelanggaran HAM.
Tentara
menjadi aparat negara yang paling banyak menjadi pelaku kekerasan terhadap
perempuan West Papua, hal yang masuk akal mengingat luar biasa banyaknya
operasi militer yang digelar di Papua. Yang sulit diterima oleh akal manusia
yang sehat adalah, bagaimana tentara dan/atau polisi Indonesia memperlakukan
perempuan West Papua. Perempuan West Papua menderitakan kekerasan berupa
pembunuhan (femicide), penghilangan, penembakan, percobaan pembunuhan,
penahanan, penganiayaan, penyiksaan, penyiksaan seksual, pemerkosaan, percobaan
perkosaan, perbudakan seksual, eksploitasi seksual, aborsi paksa, rasisme dan
pengungsian paksa.
perempuan
West Papua juga terkena dampak atas kerusakan ekologis dan masalah-masalah
sosial yang timbul akibat maraknya industri seperti perkebunan sawit,
pertambangan, dan lain-lain.
Dalam ranah
rumah tangga, perempuan West Papua juga kerap mengalami tindak kekerasan berupa
poligami, menjadi korban perselingkuhan, penelantaran ekonomi, penganiayaan,
kekerasan psikis, pemerkosaan dalam perkawinan, perkosaan anak, pembunuhan
anak, kawin paksa, hingga tertular HIV/AIDS. Sepanjang 2016-2017, jumlah
kekerasan rumah tangga bahkan mencapai angka 2000-an.
Juga yang
masih cukup segar di ingatan kita orang-orang Indonesia, sebagai bagian dari
bangsa yang pelupa, bagaimana puluhan balita meninggal di Papua karena masalah
gizi buruk, meski penelitian masalah gizi buruk di Papua sudah terbit sejak
tahun 2005.
Walaupun diguyur
hujan Lebat namun poin-poin penting dari hasil diskusi seperti yang telah di
paparkan di atas yang telah di sampaikan dapat menjadi titik ukur bagi
perempuan papua hari ini dalam menentukan sikapnya untuk turut Aktif memperjuangkan
hak-hak perempuan papua sampai ke akar-akarnya.
Diskusi ini
kemudian ditutup dengan doa bersama yang di pimpin oleh ketua Immapa Bali
Febrian Raymond Lokbere.
(Akar permasalahan di Papua adalah
penjajahan, dan oleh karena itu pembebasan Perempuan Papua hanya bisa diraih
dengan pemenuhan atas hak menentukan nasib sendiri (self-determination) bagi
bangsa Papua).
Humas Immapa Bali
COMMENTS